Saturday, November 17, 2012

Serial Animasi 3D Pendidikan

Gue pertama kali nonton pelm ini ga sengaja. Waktu lagi bosen dan puter2 chanel, eh, malah nemu film animasi 3D yang langsung bikin kening berkerut. Karena karakternya memakai baju SMP. So Indonesia banget kan? Akhirnya karena penasaran gue pun nonton salah satu episodnya dan mulai ngerti. Kayaknya ini adalah salah satu film serial 3D buatan anak bangsa yang dipelopori oleh Depdikbud. Mungkin karena gempuran film animasi 3D yang super dahsyat, akhirnya pemerintah pun, khsusunya Depdikbud mau 'berjuang' dan 'membuat' film animasi murni buatan anak bangsa. Dan jadilah serial ini. Menggapai Langit.
Film ini terbilang bagus karena boleh jadi merupakan tonggak awal bangkitnya serial per-3D-an di bumi pertiwi kita. Tapi kalau di tanya soal kualitas, ya masih jauhlah kalau dibandingin dengan film 3D luar. Dan menurut dugaan saya, penyebab kurangnya kualitas itu terbentur dari ketidaksabaran dan ketidakmengertian investor. Loh kok? Kenapa malah jadi investor yang disalahin?
Ya iyalah. Yang namanya bikin film 3D itu kan ga murah,  Mahal banget dan butuh waktu yang sangat lama. Sedangkan menurut hukum ekonomi yang pernah gue baca di sebuah buku (buku di mana? di solokan!) bahwa seseorang kalau ngasih duit untuk modal, pasti targetnya itu duit bakalan balik lagi dalam jumlah yang berlipat-lipat dalam waktu singkat. Nah, hipotesa gue dalam film ini adalah: investor (siapa pun itu) telah menyerahkan dana pada tim animator 3D, dan menetapkan DEADLINE yang super sangat ketat yang bikin para animator kelabakan. Alhasil, berhubung para anggota tim itu dibesarkan dengan cerita Sangkuriang yang kudu bikin istana dalam 1 malam, jadilah mereka kerja siang malam banting tulang banting pantat. Padahal kalau waktunya dibikin lebih longgar, kualitasnya bakalan jauuuh lebih keren. Kalo ada yang bilang Time is Money, kayaknya ga pas juga. Soalnya di dunia film 3D, Time is Quality!
Gue pernah gobrol sama kang Harry Riyadi, pendiri komunitas 3D Indonesia. Beliau bilang: "Kebanyakan orang Indonesia, terutama Investor, suka ga sabaran dalam membuat sebuah produk yang berhubungan dengan 3D. Dipikirnya kayak bikin paparan di power point yang tinggal klak-klik doang. Padahal bikinnya tuh susah, dan lama. Di Amerika saja, yang source money dan source animatornya sampai ratusan orang, butuh waktu minimal 2 tahun untuk bikin 1 film animasi durasi 90 menitan dengan kualitas yahud. Lah sedangkan kita? Di press sampai 6 bulan untuk belasan episod sekaligus! Gimana coba kualitasnya?"Tuh kan? Bikin film animasi 3D tuh ga gampang. Butuh kesabaran, keahlian, dan modal yang gueedeee. Tapi untuk serial Menggapai Langit, gue acungin jempol lah. Karena setidaknya sudah meramaikan dunia animasi 3D Indonesia. Tinggal nunggu Adventure of Wanara-nya pak Adhicipta nih, hehehe

EDIT: Film animasi ini ternyata dibuat oleh Gunung Batu Enterprise. Sebuah studio animasi di Bandung yang dimotori oleh kang Sugeng (atau lebih dikenal dengan nama Mang Ugeng)

Serial Animasi 3D Pertama Di Indonesia


Setelah sebelumnya digelar sebagai live show rutin di Taman Impian Jaya Ancol, Dufan Defender segera bisa dinikmati dalam media lain, yaitu serial televisi animasi tiga dimensi (3D). Menurut rencana, serial ini akan mulai ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta pada pertengahan Maret 2012. 

Dengan Dufan sebagai tokoh utama, Dufan Defender bercerita tentang petualangan Dufan dan teman-temannya yang tergabung dalam The Defender untuk menyelamatkan bumi dari serangan The Destroyer yang ingin menguasai bumi. 

Selain mengajarkan nilai-nilai kepahlawanan, Dufan Defender juga mempunyai misi untuk memperkenalkan hewan asli Indonesia dalam karakter Dufan Defender. Di antaranya, tokoh burung Garuda yang diberi nama Garin, Kombi sang komodo dan babi rusa bernama Barus. Harapannya, serial ini tak hanya mampu menghibur namun juga mendidik para penonton. 


Serial yang rencananya akan tayang sebanyak 26 episode ini digarap oleh 60 animator di dua lokasi studio yaitu di Jakarta dan Ungaran. Tak ingin setengah-setengah, sejak awal proses pengerjaan film, Dufan Defender juga sudah dibuat dalam versi bahasa Inggris karena Dufan Defender direncanakan akan tayang ke Vietnam dan beberapa negara lainnya. 

Begitu pula untuk musik latarnya, Dufan Defender menggunakan musik orkestra. Hal ini juga merupakan terobosan baru bagi film animasi, dimana idelanya skoring musik orkestra hanya dipakai untuk film layar lebar. Saat ini Sony Music Entertaintment selaku distributor film juga menggandeng boyband baru XO-IX untuk mengisi soundtracknya.

Di copas dari: http://travel.kapanlagi.com/artikel/wisata/590-ancol-rilis-dufan-defender-serial-animasi-3d-pertama-di-indonesia.html

Thursday, November 15, 2012

Pada Suatu Ketika


Ceritanya gue lagi cicing sambil searching internet buat nyari-nyari studio animasi di Bandung yang bisa bikinin trailer kancil saga. Rada susah juga. Kebanyakan studio animasi teh adanya di Jakarta atau Solo. Yang Bandung katanya ada 8 studio besar (gue baca di artikel), tapi pas disearch webya mate lah, situsnya ga jelas lah, aneh. Padahal namanya cukup terkenal dan cukup banyak disebut di mana-mana. Kayak Red Rocket, Kojo Anima, Cintya dan lain-lain. Tapi yah, memang belum beruntung aja kali ya.

Teruus, secara tidak sengaja tralala, gue kesasar ke sebuah artikel yang membahas tentang Lakon Animasi. Sebuah lembaga pelatihan animasi. Gue copas nih bagian dari apa yang mereka tulis:


LaKON animasi bukanlah Studio Produksi Animasi, melainkan lembaga/studi pelatihan animasi yang rencananya akan dilaksanakan di kota Solo. Kami berusaha ikut berpartisipasi, dalam kapasitas yang kami punya, untuk mendukung sektor industri yang kini sudah-sedang dan akan lebih berkembang, seperti yang sudah dimulai oleh studio-studio animasi di Jakarta-bandung-Jogja-Batam dll. Sebagai lembaga penciptaan SDM, kami memposisikan diri sebagai pelengkap dari institusi2 pelatihan lain, yang sebelumnya sudah lebih dulu ada dan berjalan. Studi LaKON baru akan dimulai pada tahun 2012, dalam format ujicoba.
Video LPSK dibuat dalam rangka uji materi pembelajaran dan pelatihan. Reel tersebut dibuat untuk menemukan bugs ( cacat, kelemahan, kekurangan ) yang terdapat dalam program yang tengah kami susun, baik itu dalam kurikulum, modul dan wawasan pelaksana program. LPSK pada awalnya ditujukan untuk pemirsa terbatas di forum LaKON FB dan di media publik yang menekankan pada diskusi dan apresiasi, dalam hal ini situs video-sharing vimeo. Tanpa mengurangi rasa hormat atas atensi dan tanggapan dari publik yang lebih luas, bahwa pada akhirnya reel tersebut melebar ke media lain, adalah di luar tujuan penerbitan video.
Tidak ada wacana dalam agenda kami untuk menjadikan reel/showcase kami untuk keperluan produksi komersial ( film komersial, tv seri, dll ). Showcase studi memang kami buat dalam kemasan ‘film’ ( unsur cerita dan tokoh ) dengan maksud untuk menghubungkan relevansi program pelatihan dengan kebutuhan industri. Meski dalam kerangka non-komersial, kami akan tetap mempublikasikan showcase-studi berikutnya kedepan, tentunya dalam forum yang lebih terbatas.

Dan film pendek yang mereka buat (yang bikin gue WOW banget karena teknik animasinya) bisa lo liat di bawah ini. Keren sangat!


Gimana mantap kan?  Transformer banget! Versi bajaj tapinya, wkwkwkwk. Sense of humot model begini nih yang gue suka. Ada bajaj jadi robot? wkwkwkwk

Bandung Lautan Api



Artikel ini umurnya udah lama. Udah ada sejak Desember 2010. Tapi tetep gue copas di sini karena ternyata anak-anak Indonesia memiliki bakat yang luar biasa. Tapi apa daya bakat jika tidak didukung oleh budget? Kendala terbesar di negeri kita yang "kaya" ini justru ada modal. Sungguh ironis!


Direktur Tunas Indonesia Kreatif Ferie Budiansyah mengungkapkan sulitnya membuat film animasi. Ia dan beberapa rekannya tengah membuat film animasi tentang peristiwa Bandung Lautan Api. ”Kendalanya banyak, terutama pendanaan. Belum ada sponsor. Padahal, sudah ditawarkan ke berbagai pihak,” katanya.
Proposal, misalnya, sudah disampaikan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat, badan usaha milik negara (BUMN), dan operator seluler. Kalau terealisasi, lanjut Ferie, Bandung Lautan Api (BLA) direncanakan menjadi film animasi panjang pertama di Indonesia yang diputar untuk bioskop-bioskop. Film itu berkisah tentang tiga bocah berlatar belakang berbeda. Bocah Belanda, pribumi, dan Tionghoa disatukan dalam dunia bermain.
Peristiwa BLA yang berlangsung pada Maret 1946 diceritakan dari sudut pandang ketiga anak yang belum mengerti, mengapa perang bisa memisahkan dan memorakporandakan persahabatan mereka. ”Sejauh ini, belum ada respons positif, tetapi saya akan terus coba tawarkan ke investor-investor. Kalau sumbernya dari tanggung jawab sosial perusahaan, bisa saja,” kata Ferie.
Taksiran biaya produksi film sekitar Rp 2 miliar. Jumlah itu belum termasuk biaya pemasaran sekitar Rp 2 miliar. ”Kalau ditambah yang lain-lain bisa sekitar Rp 5 miliar. Makanya, saya minta teman-teman ikut membantu. Kalau penyanyi, misalnya, bisa menyumbang lagu,” katanya.
Ferie menambahkan, biaya perangkat lunaknya saja sekitar Rp 30 juta. Karena itu, ia berencana menggunakan open source untuk mengefisiensikan biaya. Hambatan itu belum termasuk sulitnya mengumpulkan data, wawancara, dan survei. Wawancara tiga pelaku BLA sudah dilakukan.
”Masih perlu sekitar lima orang lagi. Kami juga harus menghimpun komunitas dan usaha animasi. Jumlahnya pasti tidak sedikit,” katanya.
Ferie sendiri ikut menanyakan para pejuang yang ikut terlibat dalam BLA. Itu pun dilakoninya dengan biaya dari kocek sendiri. Ferie menyebut rencananya sebagai proyek militan. ”Tim inti saja hanya lima orang. Kalau dianggap proyek gila, ya memang benar begitu,” ujarnya.
Meski demikian, Ferie tetap optimistis mengerjakan film berdurasi sekitar 75 menit untuk penonton semua umur itu. ”Saya mengunggah potongan filmnya ke internet. Kalau dukungan sudah sangat banyak, tetapi baru lisan dan doa,” selorohnya.


Ini adalah salah satu karya anak bangsa yang patut untuk dibanggakan!


Nasib Animasi 3D Indonesia


Dalam bisnis hiburan, animasi adalah tambang duit yang menjanjikan. Tidak hanya untuk industri layar lebar tapi juga layar kaya. Lihat saja saat pasar heboh dengan dua berita besar seputar akuisisi Dreamworks SKG dan Pixar. 
Tercatat untuk mendapat sebagian saham Dreamworks SKG milik Steven Spielberg, George Soros harus merogoh duit hingga US$1,6 miliar. Sedang Walt Disney harus mengelontorkan dana senilai US$7,4 miliar untuk mengakusisi Pixar milik Steve Jobs.

Dreamworks SKG adalah pembuat film Antz, Shrek dan Shrek II yang luar biasa berhasil. Sedangkan Pixar memproduksi Toy Story, Finding Nemo dan The Incredibles yang sukses besar.

Uang yang berputar di industri ini mencapai ratusan juta dolar. Situs boxofficemojo.com menyebutkan film animasi buatan Disney tahun 1937, White Snow and Seven Dwarfs dengan modal US$1,5 juta bisa meraup untung sampai US$186 juta.

Bandingkan dengan animasi buatan Dreamworks SKG atau Pixar yang bisa meraup pendapatan antara US$230 juta hingga US$921 juta.

Ini belum termasuk kekuatan lain seperti Warner Bros dengan Pokemon, Fox dengan Ice Age dan kekuatan tradisional di luar AS seperti Eropa dan Jepang. Dan kekuatan baru seperti China, Korea dan India.

Lalu bagaimana Indonesia? Jawabannya bisa ditebak. Sejak lama Indonesia kondang hanya sebagai gudang tukang di industri film animasi Jepang dan AS.

Data Ainaki (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia) mencatat nama-nama gudang animator Indonesia a.l Frozzty Entertainment, Tunas Pakar Integraha, Castle Production, Mirage, Pustaka Lebah, Jogjakartun, Mrico, Animad Studio, Jelly Fish, Bulakartun, Griya Studio, Bening Studio, Studio Kasatmata, Asiana Wang Animation, Bintang Jenaka Cartoon Film, Red Rocket, Infinity Frameworks dll.

Tak sedikit diantara banyak nama itu yang kini sudah tutup setelah mengeluarkan karya perdana mereka. Tetapi setidaknya tahun lalu masih sempat muncul serial animasi televisi, Sega Nusantara karya Mahaka Visual Indonesia yang diganjar ABU CASBAA Unicef Child Right Award 2005.



Sebelumnya juga muncul film animasi tiga dimensi layar lebar Homeland hasil kerjasama Visi Anak Bangsa dan Studio Kasatmata. Lalu gelar art director terbaik festifal film animasi Korea Selatan untuk film Cindelaras karya Bening Studio.


Dan ada pula film meraih mimpi. Yang menjadi film animasi pertama yang berhasil menembus layar lebar. 

“Masalah utama dari industri animasi kita adalah distribusi. Dengan kata lain industri animasi kita belum sepenuhnya mendapat komitmen penuh dari pebisnis lokal seperti televisi dan layar lebar,” ujar Presdir Digital Studio, Andi S. Boediman.

Selain itu, menurut penulis buku Photoshop Master Class, Photoshop Special F/X dan Color Finder itu pelaku industri film lokal kurang memiliki kemampuan membaca peluang pemasaran.

Satu contoh harga serial animasi legendaris Doraemon, dengan durasi 24 menit dihargai US$1.000 per episode. Anda bisa hitung berapa uang yang diterima produsen film tersebut sejak film ini diputar di RCTI sejak tahun 1990.

Hal senada diungkapkan desainer grafis dan animator senior, Tutu alias AG Airlangga yang bercermin pada kurang berhasilnya film animasi-konvensional Janus: Prajurit Terakhir yang disutradarai Chandra S Endroputro.

“Saat itu, para jagoan animasi kita gagal memenuhi tenggat waktu dari jaringan bioskop Studio 21. Akibatnya Janus diputar harus bersamaan dengan Finding Nemo. Tahu sendiri bagaimana,” ujar alumnus desain grafis ITB itu.

Finding Nemo adalah film animasi buatan Pixar yang berkisah tentang ikan badut. Film berbiaya produksi US$40 juta ini adalah animasi paling rumit yang dikerjakan anak usaha Apple Inc. Dari seluruh dunia, Nemo berhasil meraup pendapatan hingga US$865 juta.

Selain itu, lanjut seniman grafiti itu, penyandang dana di dalam negeri masih seringkali ngeri melihat dana produksi film animasi yang super mahal dibanding dana untuk membuat film dengan bintang manusia.

Pada sisi lain, ganasnya pembajakan peranti lunak di dalam negeri sebetulnya mmberi keuntungan dibanding kawan-kawan mereka di luar negeri. Boleh disebut keuntungan sekaligus kerugian.

“Diakui atau tidak banyak anak desain termasuk saya yang kenal software animasi dari produk bajakan. Kerugiannya produk animasi lokal kita juga rentan dibajak,“ujar Aji Bekti, Art Director PT Dentsu Indonesia.

Kurang dihargai

Dibandingkan Jakarta, industri ini justru berkembang di daerah. Sebut saja almarhum PT Marsha Juwita dan PT Atelier Karo di Bali yang sejak lama mengerjakan gambar antara (in between) dan gambar latar (back ground) film Doraemon dan Candy-Candy.

Meski di Jakarta ada banyak studio mapan seperti Bintang Jenaka Cartoon Film, Asiana Wang Animation hingga Mahaka Visual Indonesia. Namun gebrakan animasi nasional justru lagi-lagi dimulai di daerah.

Sebut saja saat Red Rocket Animation, Bandung memproduksi serial film fabel Cerita Aku dan Kau hasil kerjasama dengan PT Nestle Indonesia.

Selain film animasi, mereka juga memproduksi banyak iklan animasi hingga filler pergantian acara di Trans TV, Metro TV dan Seputar Indonesia RCTI.

“Kami juga memproduksi film Pok! Pok! Pok! untuk Malaysia tahun 2001 dan sempat dipercaya mengerjakan order iklan dari AS,” kata Risty A. Maskun, produser utama Red Rocket Animation.

Selain Red Rockets, ada unit animasi Manajemen Qolbu (MQ) TV pimpinan Dudung Abdul Gani. Perusahaan yang berdiri tiga tahun lalu itu telah menghasilkan film animasi Jang MQ dan Rai Raka.



Film kartun anak Islami ini selain tayang di MQTV juga muncul TV7 dan Lativi selama masa Ramadhan.

Sayang meski diakui banyak pihak produk animasi lokal mengagumkan, nasib produksi animasi Indonesia umumnya menyedihkan. Pasalnya, hasil karya lokal tak dihargai dengan layak.

“Orang kita masih belum berpikir kalau produk animasi itu paduan seni dan teknologi. Ada proses kreatif yang harus dihargai dengan wajar,” ujar AG Airlangga dari Splat! dan Animagic, yang menggarap iklan animasi Kondom Fiesta.

Senada dengan AG, Risty menyebutkan klien Indonesia lebih percaya untuk membayar lebih mahal pada perusahaan luar negeri dibanding ke perusahaan lokal. “Animasi asing paling hanya 20%-30% tapi uang yang mereka dapat ratusan kali lipat dari yang kami terima.” .

Tentu saja hal itu berimbas pada pendapatan yang diperoleh animator lokal. Pimpinan MQTV Dudung Abdul Gani membandingkan pendapatan animator lokal dan Singapura.

Dengan kualitas kerja yang sama, animator lokal hanya dihargai antara Rp900.000 hingga Rp2,5 juta/bulan bandingkan dengan gaji animator asal Singapura yang mencapai Rp25 juta/bulan.

Kondisi ini makin diperparah akibat praktik ‘pelacuran’ alias banting harga gila-gilaan produk animasi yang dilakukan oleh perorangan di bawah harga standar yang dibuat perusahaan animasi.



AG Airlangga memberi gambaran untuk pembuatan iklan animasi Kondom Fiesta versi bunglon yang berdurasi 15 detik dibutuhkan dana Rp2 juta per detik. “Sekilas mahal. Tapi untuk bikinnya. Susah!”

Risty menambahkan, untuk membuat satu detik gambar gerak dibutuhkan sedikitnya 25 gambar, animator kadang harus tidak tidur selama dua malam bila sedang menggarap proyeknya.

“Sebenarnya saya senang kalau makin banyak orang Indonesia jago animasi, terbukti kualitas karya perusahaan dengan individu tidak jauh beda. Tapi ya, jangan jatuhkan harga gila-gilaan. Bersaing sehat lah,” ujarnya.

Kondisi ini langsung dirasakan industri animasi di Yogyakarta seperti Studio Bening, Studio Urek-Urek, Studio Kasatmata dan Studio Jutahira yang turun hampir 90%.



Menurut Risty hal itu karena industri animasi seolah ayam tak berinduk. Sejak awal tidak ada instansi yang menaungi sekalipun pemerintah tahu nilai ekonomi di dalamnya cukup tinggi. 
Bandingkan perlakuan pemerintah China dan India yang mewajibkan agar perbankan memberi pinjaman tanpa agunan dan bebas bunga pada perusahaan animasi. 

Berbicara lebih jauh soal animasi 3D Indonesia, rasanya semakin ironis ketika kita melihat sebagian orang telah 'salah kaprah' dan mengatakan jika film2 dibawah ini merupakan karya anak bangsa:





Secara konsep dan alur cerita memang banyak anak bangsa yang terlibat pembuatan Paddle Pop Saga. Begitu juga dengan proses dubbing. Akan tetapi dalam urusan pembuatan animasi 3D, mereka menyerahkannya pada The Monk Studios. Sebuah stuido animasi 3D yang cukup terkenal di Thailand. Walls sebagai perusahaan ice cream besar di Indonesia memang memiliki modal yang kuat untuk membayar jasa para animaotr handal yang lagi-lagi berasal dari negeri tetangga. Itu sah-sah saja sih. Akan tetapi kalau terus begini mimpi kejayaan industri animasi Indonesia rasanya makin jauh saja. Anda setuju tidak?

Tutorial Blender - Hello World 01

Sebelum memulai turoial ini, yang pertama harus lo lakuin adalah download blender dan install aja. Gue sih pake blender 2.63. Nggak tahu deh sekarang dah versi berapa. Terus lo jalanin Blendernya. Yang muncul secara default adalah seperti ini.
Nah, dalam tutorial Hello World 01 ini, gue bakal ngasih tahu salah satu siklus blender mulai dari awal banget sampai rendering image. Tapi sebelum itu, kita mesti familiar dulu nih sama setingan Blender.
Blender tuh aplikasi ajaib. Karena windowsnya bisa digeser2 dan jadi kembar. Khas aplikasi 3D memang. Tapi sumpah ajaib. Gue aja sampai sekarang masih takjub. Maklum, gue aslinya programmer. Jadinya super penasaran, gimana caranya bikin viewportnya bisa duplikat semudah itu? Codingnya kayak apa sih? Ah, tapi kita bukan ngebahas itu kan? Hehehe, jadi ngebahas yang aneh2.

Nah, lo liat panah kecil di pojok kanan atas? Drag aja bos! Windownya jadi 2 pan? Kenapa jendelanya mesti lebih dari 1? Ini pentin soalnya kita main di 3 Dimensi. Jadi pelu jendela tambahan buat lihat sisi lain dari objek yang lagi kita garap. Tarik lagi ke kiri bagian splitnya biar menunya ga ngikut2, kan jadi rapi tuh?
Nah, sekarang kita akan bermain2 sebentar dengan jendela blender.

 Masing-masing jendela blender bisa nampilin berbagai sisi dari kubus yang sudah ada. Kalo lo pencet tombol 1, 2, 3 dan seterusnya (yang di numpad, bukan yang di atas huruf2) lo bakalan liat kalao tampilan kamera akan berpindah2 kaya di atas. Bisa tampak depan, tampak kanan, tampak atas, dan lainya. Buat liat semuanya namanya tampak prespektif.

Sekarang, hapus dulu deh kubusnya. Tinggal pencet delete doang.

Habis itu lo tambahin deh si Suzzane. Caranya klik Menu ADD --> MESH --> MONKEY (buat yang ga tahu menu Add ada di mana, menu itu ada di bagian atas sebelah kanan menu File). Muncul deh kayak gini: 

Di dalam Blender, Suzzane adalah sebuah mesh default layaknya teapot di program 3D lainnya. 
Dan sebelum kelupaan, kita atur window rendernya ke New Window biar ga numpuk di Viewport. Tuh, kllik gambar kamera dan pilih New Window. Kalau udah, sekarang kita bakal warnain si Suzzane Caranya, lo tarik tuh panel bagian kanan dan cari tulisan Material. Yang gambarnya bulet. Terus klik Add, dan lik New terus klik panel kosong putih di bawah tulisan Diffuse dan cari deh warnanya yang cocok. 

Kalau warnanya udah selesai, lo tinggal pilih render image. Klik lagi tombol kamera dan klik Image. 

Tadaaa! Akhirnya selesai juga deh, monyet 3D pertamamu! Eh, tapi kenapa tampilannya kayak gini? Karena memang kameranya ada di atas. Gue males jelasin kameranya lo pikir aja sendiri deh. Terus kalo monyenya mau lo puter2, klik dulu salah satu Axis (lo ga tahu lagi axis apaan? Pokoknya klik aja deh salah satu panah yang ijo, biru, merah itu. Itu jadi patokan objeknya mau lo puterin ke mana), terus pencet R. Atau bisa juga pake menu Rotate Manipulator.

 Terus kalo udah nemu sudut yang pas, lo render lagi aja. Kayak gini:
Tadaaa! Akhirnya selesai juga deh, monyet 3D pertamamu! Eh, kok gambarnya kasar ya? Oalah, ada yang kelupaan. Shadingnya belum di smooth, masih flat tuh! Klik dulu smooth, baru render lagi. 

Tadaaa! Akhirnya selesai juga deh, monyet 3D pertamamu! Dan dalam tutorial ini gue nulis Tadaaa 3 kali, hahaha. Sampai jumpa lagi di tutorial selanjutnya.








Tutorial Blender - Membuat Film Animasi Pertamamu!

Apakah lo pernah bermimpi untuk membuat sebuah film animasi 3D sendiri? Kayak Ice Age? Kayak MAdagascar? Kayak serial Barbie mungkin? Dengan Blender impian lo itu akan terwujud. Sedikiiiiit. Loh kok cuman sedikt? Ya karena yang namanya bikin film animasi 3D itu ga murah bro! Itu super mahal sekali. Per detiknya aja bisa nyampe ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Dan lagi, sebuah film animasi itu ga bisa dibikin sama satu orang. Oke, mungkin kebanyakan orang Indonesia dibesarkan dengan dongeng Sangkuriang yang bisa ngerjain pekerjaan gile dengan waktu singkat! Tapi ada satu masalahnya! Dalam dongeng Sangkuriang, dia itu NGGAK SENDIRIAN! DIA DI BANTU SAMA JIN! Jadi ga mungkin ada sebuah pekerjaan gede bisa diselesain sama orang. Apalagi film animasi. Karena kita ga mungkin minta bantuan jin buat bikin film 3D. Nanti bisa2 dia bilang: WANI PIRO? Jiaaah, sama aja dengan manusia dong, hehehe.

Nah, poster film yang gue pajang di atas judulnya Sintel. Ceritanya seru banget loh (endingnya sedih sih). Tentang seorang cewek yang temenan sama naga kecil. Terus naganya diculik (sebenernya diambil lagi sama induknya) dan si cewek cari tuh naga kecil sampai ke ujung dunia. Sampai masuk ke sebuah goa dan ngeliat ada naga gede. Dia pun bertarung dan membunuh naga gede itu. Eh, nggak nyangka, ternyata naga gede itu adalah naga kecil yang selama ini dia cari2. Wow, tanpa dia sadari pertemanannya dengan naga telah membuatnya super awet muda dan nggak nyadar waktu udah berlalu beberapa puluh tahun hanya demi cari si naga cilik. Sedih banget ceritanya.
Tapi yang mau gue bahas di sini bukan filmnya, melainkan tool pembuat filmnya. Yaitu BLENDER. Ya, software open source ini populer banget. Sekelas dengan sodaranya, 3DMAX yang berbayar. Dengan Blender selain lo bisa bikin juice (hehehe), ternyata lo juga bisa bikin film3D. Dan di blog ini, gua bakalan kasih tahu cara2 bikin film 3D. Jadi, pantengin terus ya, hehehe

Monday, November 12, 2012

Sejarah Blender

Pada tahun 1988, Ton Roosendaal mendirikan Studi NeoGeo di Belanda dan dengan cepat berkembang menjadi studio animasi terbesar di Belanda. Pada saat itu Ton bertanggung jawab untuk mengarahkan unsur seni dan pengembangan software. Setelah dilakukan musyawarah, maka diputuskan bahwa program 3D yang sedang digunakan harus ditulis ulang dari awal, sehingga pada tahun 1995 program 3D tersebut dirancang-tulis kembali sebagai "Blender" yang kita kenal sekarang ini. Kemudian pada tahun 1998, Ton mendirikan sebuah perusahaan baru yang disebut dengan "Not a Number" (NaN) yang bertujuan untuk memasarkan dan mengembangkan Blender lebih lanjut. Ruang lingkup bisnis NaN antara lain menyediakan produk-produk komersil serta layanan sekitar Blender.
Pada tahun 2000, NaN dibiayai oleh beberapa perusahan investor, tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan program gratis untuk konten 3D-interaktif  (on-line) dan program versi komersilnya. Namun sangat disayangkan pada awal tahun 2002 para perusahaan investor tersebut menutup operasi dan menghentikan pengembangan Blender. Kejadian tersebut tidak dengan mudah diterima oleh komunitas pengguna, mereka tidak menyetujui Blender menghilang dan terlupakan. 




Pada bulan Mei 2002, Ton Roosendaal memulai "Blender Foundation" sebuah yayasan nirlaba yang bertujuan untuk terus mengembangkan dan mempromosikan Blender sebagai proyek "open source". Pada bulan Juli 2002, Ton berhasil bekerjasama dengan investor NaN untuk mencoba membuka "source" Blender. Kampanye "Blender Gratis" berusaha mengumpulkan dana sebesar 100.000 EUR, sehingga investor NaN bersedia untuk membuka "Source" Blender. Hal yang mengejutkan adalah kampanye penggalangan dana tersebut berhasil mengumpulkan 100.000 EUR hanya dalam waktu tujuh minggu.  

Tanggal 13 Oktober 2002, Blender dirilis pertama kali dengan ketentuan GNU (General Public License). Sejak saat itu, pengembangan Blender terus dilakukan hingga saat ini dengan bantuan relawan-relawan dari seluruh penjuru dunia dibawah pimpinan Ton Roosendaal. Agar Blender dapat terus berkembang maka sebagai salah satu cara penggalangan dana, Blender Foundation memutuskan untuk membuat berbagai film pendek 3D, dengan menggunakan sumber daya manusia dari orang-orang yang tergabung dalam komunitas Blender di seluruh dunia. Beberapa proyek "Open Movie" yang pernah diselenggarakan oleh Blender Foundation  antara lain:
  • Project Orange dimulai tahun 2005 dengan judul film "Elephants Dream". Tidak hanya keseluruhannya dibuat dengan program "open source", namun karena keberhasilannya sebagai film "open movie" pertama, maka Ton Roosendaal mendirikan "Blender Institute" di musim panas tahun 2007. Kini Blender Institute digunakan sebagai studio permanen dengan tujuan untuk menjalankan visi Blender Foundation sekaligus untuk memfasilitasi hal-hal yang berhubungan dengan film-film "open movies", game dan visual effects.
  • Project Peach, dimulai pada April 2008 menghasilkan film berjudul "Big Buck Bunny"





  • Open Game dengan judul "YoFrankie!" dirilis pada September 2008


  • September 2010, film pendek "Sintel" yang ditayangkan pada Netherland Film Festival dengan 450 kursi habis terjual.


Sumber: dicomot dari sana-sini.

Tutorial Blender - Planet Saturnus

Halo sobat Blender? Piye kabare? Ketemu lagi dengan saya dosen geje tukang melihara kancil. Tutorial ini dibuat untuk menjawab mas novel09 ...